Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Peran Kantor Berita Domei Di Bandung Dalam Menyebarkan Berita Proklamasi
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II semaking mematangkan suasana untuk pecahnya sebuah revolusi di Indonesia. Jepang tentu lebih menyadari akan situasi ini, apalagi dengan adanya perintah Sekutu selaku pemenang perang terhadap Jepang untuk menjaga stabilitas keamanan di wilayah pendudukannya hingga tentara Sekutu datang. Jepang berusaha keras agar berita tentang kekalahannya tidak sampai kepada rakyat Indonesia, khususnya para pemuda militan. Namun, usaha Jepang itu sia-sia, karena hal itu sampai kepada para pemuda Indonesia, sehingga memicu dilancarkannya gerakan revolusi kemerdekaan.
Larangan menyebarluaskan kabar kekalahan Jepang ini mendorong kepala bagian siaran Radio Hoshokyoku (radio Jepang) di Bandung, Hideki Zenda, untuk membuat pengumuman di kantornya yang berbunyi, “Pengumuman bahwa dilarang menyiarkan apa-apa yang dikutip dari surat kabar Tjahaya Bandoeng”. Pengumuman itu justru menimbulkan rasa penasaran bagi para pemuda, pegawai radio yang ingin tahu bagaimana isi lengkap beritanya. Mereka mencari-cari surat kabar Tjahaya Bandoeng hari itu, namun tidak berhasil mendapatkannya. Sementara itu, di kantor surat kabar Tjahaya Bandoeng, para wartawan sibuk membincangkan kekalahan Jepang. Mereka tidak dapat menyiarkan berita itu lebih lanjut karena pihak Jepang enggan menegaskan kebenaran berita kekalahannya dalam Perang Dunia II.
Pada 16 Agustus 1945, para pemuda yang bekerja di Stasiun Radio Hoshokyoku di Bandung, mendapatkan permintaan untuk mengirimkan dua orang teknisinya ke Jakarta untuk kepentingan pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Dengan membawa microphone bermerek Siemens dan segala perlengkapan, kedua teknisi itu berangkat ke Jakarta. Menurut rencana, dari stasiun radio Jepang di Jakarta, proklamasi akan disiarkan secara luas. Namun, ketika saatnya tiba, berita yang ditunggu tidak terdengar di radio. Oleh karena itu, lewat saluran telepon “bawah tanah” dicoba untuk mengontak Jakarta tetapi tidak ada jawaban.
Pada sore 17 Agustus 1945, kedua teknisi itu tiba di Bandung. Dari mereka diketahui, bahwa Jepang telah menduduki studio sehingga tidak mungkin untuk menerobos dan menyiarkan berita proklamasi. Rupanya Jepang ingin bertindak cepat dengan melarang segala tindakan penyebarluasan kabar tentang proklamasi. Tindakan Jepang ini sia-sia, karena hari itu Kantor Berita Domei di Bandung telah menerima kawat berisi teks proklamasi yang kemudian oleh para pemuda pegawai kantor berita itu dimuat dalam Buletin Berita Domei.
Para wartawan surat kabar Tjahaya Bandoeng menyambut gembira kabar tersebut. Mereka berencana akan memuat berita proklamasi di halaman depan, setengah halaman dengan huruf besar, tetapi rencana itu tercium oleh pihak Jepang. Jepang mendahului dengan membuat berbagai pengumuman tentang penyebarluasan berita proklamasi yang akan dimuat di surat kabar Tjahaya Bandoeng, di antaranya Hoshokyoku Bandung. Rencana para wartawan itu urung dilaksanakan setelah ada berita susulan dari Domei yang isinya tentang larangan untuk mengumumkan proklamasi kemerdekaan dan penegasan politik Jepang terhadap kemerdekaan Indonesia tidak berubah. Politik Jepang yang dimaksudkan adalah janji kemerdekaan yang akan dipenuhi.
Para wartawan menggunakan cara lain dengan menuliskan berita proklamasi kemerdekaan di papan tulis, lalu dipancangkan di depan kantor. Masyarakat yang melewati gedung kantor segera mengerumuni papan tulis. Semangat yang meluap-luap mendorong beberapa wartawan, diantaranya Atje Bastaman, mengumumkannya di depan orang banyak.
Pada hari itu berita proklamasi kemerdekaan telah meluas sangat cepat di Kota Bandung. Selain disampaikan dari mulut ke mulut, juga terbantu oleh beredarnya berbagai selebaran berhuruf merah yang dicetak oleh percetakan pimpinan Sasmita.
Para pemuda pegawai Hoshokyoku, yang tidak berhasil mendapat berita proklamsi dari surat kabar Tjahaya Bandoeng, akhirnya menemukannya dari Buletin Domei. Kendati ada larangan, Sakti Alamsyah (penyiar) dan kawan-kawan, antara lain Hasyim Rachman (teknisi), Sofjan Djunaid (teknisi), Sam Amir (penyair), Abdoel Razak (teknisi), Odas Soemadilaga (penyiar), Soetarno Brotokoesoemo (teknisi), dan R.A. Darja (bagian siaran), bertekad akan menyiarkan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 malam pukul 19.00 waktu Jawa; waktu yang biasa digunakan radio Jepang Jakarta menyiarkan berita. Siaran yang dibacakan dalam bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris itu kemudian disiarkan kembali pukul 20,00, 21,00, dan 22.00 waktu Jawa.
Dalam siaran malam itu, radio Bandung ex-Hoshokyoku menggunakan panggilan “Radio Republik Indonesia” (RRI) untuk menggantikan panggilan “Bandung Hoshokyoku”. Itu adalah yang pertama kali di Indonesia. Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan dari RRI Bandung dapat didengarkan di Amerika secara beranting. Bahkan, konon dunia internasional mendengar berita proklamsi kemerdekaan dari Bandung. Seorang warga Indonesia yang berada di Arab Saudi menyatakan mendengar siaran radio Bandung.
Beberapa pemuda pegawai RRI Bandung kemudian menyiarkan berita proklamasi dengan menggunakan mobil berkeliling di Bandung dan Cimahi. Dalam aktivitasnya, mereka membawa senjata untuk menghadapi segala kemungkinan. Ketika berkeliling di Bandung utara, mereka dilempari batu oleh pemuda-pemuda Indo-Belanda yang baru saja keluar dari interniran. Namun, kejadian tersebut tidak sampai berkembang ke tarapf pengacauan sehingga para pemuda RRI tidak membalasnya.
Akibat aktivitas tersebut, sekitar pukul 9.00 RRI Bandung didatangi sepasukan tentara Jepang yang datang dengan menggunakan dua buah truk dan menangkapi para pegawai RRI yang sedang bekerja di sana. Ternyata, tidak semua ditangkap sehingga sisanya dapat melanjutkan siaran pada malam harinya. Peristiwa ini digambarkan oleh Sakti Alamsyah, penyiar RRI yang tidak ikut tertangkap sebagai berikut, “Pagi itu rokok saya habis, Jadi pergilah saya ke luar halaman hendak membeli rokok. Tepat waktu saya baru keluar dari jembatan yang memasuki studio kami, tiba-tiba masuklah dua buah truk berisi tentara Jepang. Semua yang ada di dalam studio digiring dan ditahan. Tetapi tidak semua penyiar, teknisi dan pegawai lainnya ditangkap oleh Jepang, sehingga dengan tenaga sisa kami malam harinya tetap bersuara di udara, semboyan kami adalah “Sekali di Udara tetap di udara”.
Sumber: Saya Pilih Mengungsi: Pengorbanan Rakyat Bandung untuk Kedaulatan, Ratnayu Sitaresmi, Aan Abdurachman, Ristadi Widodo Kinartojo, Ummy Latifah Widodo, 2002
Gedung Kantor Berita Domei
Bangunan ini dahulunya adalah merupakan villa yang dikenal dengan nama gedung Villa Tiga Warna atau dikenal dengan nama de ‘Driekleurkleur’, karya Albert Frederik Aalbers pada tahun 1938. Tiga warna disesuaikan dengan tiga warna bendera Belanda. Pembangunan villa ini adalah seiring dengan periode perkembangan arsitektur modern yang dikenal dengan istilah “Neuiwe Bouwen” di Negeri Belanda. Di negara-negara barat seperti di Amerika Serikat, langgam ini adalah merupakan bagian dari perkembangan konsepsi bentuk arsitektur baru yang semakin plastis yang disebut Neo Plastisisme, dan dianggap sebagai akhir dari gaya Art Deco yang dikenal dengan istilah gaya bangunan yang menampilkan plastisitas masa dan bidang eksterior bangunan yang plastis seperti karya Aalbers lainnya yaitu gedung Bank Jabar, Tiga Villa dan Hotel Homann, yang juga dibangun pada akhir dasawarsa ketiga.
Pada masa kekuasaan Jepang, gedung ini dijadikan Kantor Berita Jepang Domei dan menjadi tempat penyiaran naskah proklamasi untuk pertama kalinya di Indonesia. Dari Kantor Berita Domei inilah berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia disiarkan dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, yang segera menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan ke seluruh dunia. Bangunan ini kemudian digunakan oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1937 sampai 1950.
Bangunan ini juga sempat berfungsi sebagai rumah tinggal antara tahun 1950 sampai 1970, dan juga sebagai Markas Brigade Mobil (BRIMOB). Setelah tahun 1970, beberapa bank sempat menggunakannya sebagai kantor pelayanan, dan saat bangunan ini menjadi kantor Bank BTPN.
Selama perjalanannya, bangunan kelas satu ini telah mengalami berbagai perubahan penampilan eksterior maupun interiornya. Dari renovasi bangunan yang telah dilakukan pada tahun 2007, terlihat usaha arsitek untuk mengembalikan bangunan ini ke bentuk aslinya, diantaranya:
1. Mempertahankan bentuk eksterior bangunan
2. Membongkar bangunan tambahan di lantai empat
3. Menghindari perubahan structural
4. Melakukan perubahan visual interior dengan hanya menggunakan bahan semi permanen seperti wallpaper dan plywood untuk dinding serta karpet untuk penutup lantainya. Sehingga bahan bangunan lama masih dalam keadaan utuh.
Sumber: Penghargaan Konservasi Bangunan Cagar Budaya, Dibyo Hartono, 2014